Bolehkan kita marah pada dunia? Pada kecongkakan seseorang. Pada senyum dan tawa yang bertebaran tanpa mereka tahu, hal yang mereka buang-buang begitu berarti bagi orang lain. Aku mulai merenung, aku mulai berpikir tentang itu semua. Pemikiran yang seharusnya tak datang di waktu sekarang. Di waktu teman-temanku sibuk mempublis garapan skripsi mereka. Seharusnya begitu. Namun, kita tak bisa menolak tamu yang bernama pikiran yang kemudian bertranformasi menjadi sebuah perenungan. Perenungan yang begitu abstrak, nyaris tak bernama. Mengapa tak bernama? Apakah karena seonggok perenungan itu terlalu sepele? bukan. Karena itu semua remeh namun komplicated. Bingung bukan? hai teman-teman? saya pun demikian. Tulisan ini mungkin berisi tangisan seseorang, pengorbanan, kecengenangan, drama, atau hanya huruf yang dirangkai dengan sia-sia. Saya tak peduli. Saya hanya ingin terapi. Perasaan yang seperti ini akan saya tumpahkan dengan menulis. Begitu biasanya, dan setelah itu saya akan merasa lebih baik. Maka, saya kasih tahu anda-anda sekalian, ketika anda melanjutkan membaca tulisan ini mungkin anda akan kecewa. Tulisan yang takaruan, cerita yang tak jelas atau apapun itu istilah yang digunakan, saya yakin kalian mengerti. Tulisannya meloncat-loncat. Maka, pikirkan sebelum anda melanjutkan!
Ini tentang seorang ayah dengan anakanya yang cengeng. Anaknya yang selalu dimanja tanpa pernah memberikan kebanggaan. Suatu ketika, anak itu menelepon sambil menangis pada ayahnya, tersedu-sedu. Dan anak itu berbicara dengan tidak jelas. Namun, ayahnya menjawab dengan tenang dan lembut. Dengan kasih dan sayangnya. Sungguh, saya tak ingin mengatakan mengapa anak tersebut menangis, karena anda-anda mungkin saja berpikiran anak tersebut adalah saya. Tangis, menangis yang berirama. pelan, pelan, dan kemudian tersedu sedan. Saya sebal, saya marah, saya tak suka, namun sekaligus saya merasa menyesal. Penyesalan adalah hal yang mengembalikan saya pada perasaan yang murni selain rasionalitas.
Kamis, 07 Mei 2015
Rabu, 06 Mei 2015
Dingin
Tak bersesuaian, antara cuaca dan awan yang terus menebal sedari kemarin. Entah kemarin itu terhitung sejak kapan. Namun, dua hari yang lalu awan itu berubah menjadi rintik yang terus saja membawa teman-temannya. Banyak, ada kerinduan yang membuat aku akhirnya terluka. Di sini, ku rasakan kamar kostku yang sempit. Dinding-dindingnya yang bercatkan warna hijau mengurung dingin agar terus saja menemaniku. Aku rapuh, aku mulai tak mengenal diriku sendiri. Dan aku pun bersahabat dengan dingin. Awalnya aku tak suka, berulang kali aku menepisnya atau agar aku tak merasakan dinginnya dingin. Namun hanya sekejap saja aku bisa menghindar darinya. Ku coba untuk membiarkan aku lebih mengenal dingin dan bersahabat dengan dingin. Akhirnya, aku menemukan diriku sendiri. Wajah lama yang dari dulu kututupi. Tangis yang menyertai dan luka yang terbuka menganga. Ku dapati itu ketika aku bertemu dengan dingin. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku tak ingin lagi menghitung dan menakar perasaan mereka, kesan mereka, malukan meraka? tidak. Itu semua cukup. Aku ingin berjalan sendiri. Aku tak ingin menutupi luka yang ia goreskan tanpa sengaja.
Langganan:
Komentar (Atom)