Senin, 15 Juni 2015

Selamat Ulang Tahun, "Jangan Takut Gelap"

Pagi semuanya.... Suatu anugrah yang sudah seharusnya aku syukuri atas mentari yang mengendap-ngendap kamarku, atas cuaca yang begitu nyaman bagi tubuhku, dan atas limpahan karunia yang membuat aku begitu bersemangat, begitu ceria, dan kembali pada rutinitas pagi yang sangat aku rindukan. Di depan laptop, diiringi alunan musik, dan setumpuk mimpi yang mengiringi seirama dengan badan yang berlenggok-lenggok. Hemm tak seperti biasanya, aku ngeblog pagi, dan dalam ketidakbiasaan ini, aku persembahkan tulisan ini untuk seorang kekasih yang kemarin berulang tahun. Apakah kalian berpikiran aku terlambat karena menulisnya pagi ini? Atau berpikiran lupa ulang tahun pacarku lagi, seperti tahun kemarin? Tidak. Kali ini tidak. Kemarin malam dan malam tadi, harapan, tawa, dan sejumput pembicaraan tentang masa depan hadir diantara jarak yang terbentang. Bandung Parigi. Begitulah. Entah berapa kali ulang tahun dia atau aku, kami menjalaninya lewat jaringan seluler. Dan setelah sekian lama, kemarin malam aku menyadari ada perubahan. Malam, hanya malam yang tahu segalanya. Malam dan sepinya kamar yang menyertai perbincangan pada saat hari kelahiran. Obrolan anak SMA berumur 16 dan 18 tahun yang ringan dan begitu polos. Aku masih mengingatnya. Ketika dia mencuri waktu menemuiku, ketika ia lemah di hadapan teman-temannya yang mayoritas tidak menyukaiku. Karena dulu, aku seorang anak SMA yang tak terlalu bertatakrama. Dan dia bertahan. Sering aku melihat punggungnya ketika aku marah padanya, ia berjalan menjauh namun tak pernah pergi untuk selamanya. Dia selalu ada, ketika aku membutuhkan semangat pun ketika aku terbaring di rumah sakit. Bahkan terkadang sebelum tidur, ia sering menyanyikan lagu untukku. Salah satunya, Dari Iwan Fals, "Buku Ini Aku Pinjam". Di akhir masa SMAnya, dorongan untuk jajan dan waktu yang sengaja diluangkan, waktu itu, ia berjualan di Pantai Pangandaran dan pasar malam. Berpindah-pindah, mulai dari Parigi, Sidamulih, Pangandaran, Banjarsari, dan yang paling jauh, Manonjaya (Tasikmalaya). Ingatkah kamu? Waktu itu, kita mengisinya lewat seluler. Masa-masa hujan di pasar malam dan nggak laku, dan lain hal sebagainya. Ketika pasar malam di Parigi atau Sidamulih, sering aku bersamamu. Dan kamu SELALU membelikanku pecel di pasar malam itu. Pecel pake bala-bala begitu lezat bukan? Hahaha... Begitu pula di akhir masa SMA mu. Kamu berjualan di pasar malam. Waktu itu sedang musim sepak bola piala dunia dan kamu berjualan di Banjarsari. Kamu memberiku kaos Jerman, kaos spongebob, dan kaos snoopy. Masih ingat? hahaha Dan momen itu, bertepatan dengan ulang tahunmu. Kamu pulang,  aku, Zeihand, dan Ferry, setelah berkonspirasi dengan Aceuk (ibu yang punya warung) menjatuhkanmu ke kolam. Setelah itu, kita makan mie ayam di warung yang sederhana dengan mengeluarkan uang tak lebih dari 20 ribu. Ulang tahunmu di akhir masa SMA, kita rayakan dengan keceriaan dan kesederhanaan.



Selepas SMA kamu ke Cikarang dan sering mengirim foto. Sewaktu di sanapun, kamu berulang tahun dan aku mengucapkannya dengan berbisik-bisik dalam malam di kamarku. Sungguh, aku begitu bersyukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan kesehatan padamu, kemurahan hati, kesabaran, dan optimismemu sewaktu itu. Tak terlalu banyak beban pikiran. Pundakmu masih ringan seperti waktu SMA. Dan kemarin, kesekian kalinya kamu berulang tahun. Ini berbeda. Keadaan begitu sulit bagimu, diantara obrolan orang lain dan setumpuk beban yang harus kamu pikul. Masalah-masalah yang memaksa bertemu denganmu. Yang kamu rasakan tanpa bisa menolak. Ku tahu, akhir-akhir ini kamu lelah dan hampir menyarah. Sungguh aku tahu dan sedih. Namun kita menjalaninya berdua, kita mulai pembicaraan dari ucapan selamat ulang tahun, harapan, dan luapan pembicaraan tentang masalah-masalah yang kamu pikul, dan kita mengakhiri pembicaraan itu dengan harapan dan optiimisme. Dengan perlahan dan penuh kedewasaan. Pembicaraan tentang masa depan, tentang kepercayaan bahwa masalah ini akan berlalu suatu saat nanti. Begitu siklus ini berjalan. Yakinlah, akhir semua ini adalah harapan yang menjadi nyata. Amin.
Sayang, 7 tahun sudah aku menemanimu berulang tahun. Aku tahu saat kamu ceria, sangat kamu begitu berbahagia, bahkan saat kamu sedang terpuruk. Aku ada dan tahu suatu hari nanti kamu tidak akan menjadi orang yang sia-sia. Insya Allah. Masalah-masalah itu menempamu dan hadir untuk mempersiapkanmu menjadi pribadi yang rendah hati, dermawan, dan peduli sesama ketika finansialmu sangat baik, suatu hari nanti. Iya, suatu hari nanti, ketika kita tertawa dan meratap di atap yang sama. Aku janji padamu.
Sayang jangan bersdih, angkat dagumu, syukuri karunia yang luput dari pandanganmu karena kamu terlalu menunduk ketika kamu begitu terpuruk. Luapkan bebanmu ke udara sehingga mentari yang begitu terik membakar dan meniadakannya. Jangan terlalu gamang dengan hari esok. Hari ini atau esok kamu menjadi apapun, aku selalu bangga padamu. Aku tahu kamu istimewa, pribadimu, semangatmu, dan jaringan pertemanmu, itulah yang akan mengantarkan kesuksesanmu.
Dan diakhir pembicaraan kami tadi malam, ia mengingat dan menyanyikan lagu yang sering kakakku tersayang nyanyikan sewaktu aku masih kecil. Tasya feat Duta dan Erros "Jangan Takut Gelap". Jangan hanya jadi penggalan lirik tanpa makna, untuk kamu jangan takut akan "gelap". Semua benda berada di tempatnya semula, tak ada yang berubah. Yang berbeda, ketika tak ada cahaya dan tak dapat melihat sehingga kamu bisa menabrak benda-benda atau tiang dan terluka. Oleh karena itu, ketika gelap, buka penglihatanmu yang lain dan tajamkan ingatanmu. Berjalanlah perlahan sambil menyuri dinding yang dingin sampai kamu dapat menemukan cahaya tanpa terluka. Amin. Itu harapan ku untukmu, kekasih ku, Jajang Nur jaman.

Sabtu, 13 Juni 2015

Sampai peluit panjang berbunyi, sampai akhir menutup mata

Beberapa hari yang lalu seorang teman meminta saya untuk menulis lagi. Katanya, “aku kangen tulisan kamu”. Ehm,... Enek? Mungkin. Gombal? Tidak. Dia seorang perempuan yang anggun dan ekspresif. Satu lagi, terkadang sulit ditebak sehingga tak jarang orang di sekelilingnya “tersedak”. Namun tulisan ini mungkin tak sesuai seleranya. Ini bukan tentang runcingnya perasaan, melankolisnya malam, atau tentang curahan emosi untuk seorang kekasih. Bukan, ini tentang bola. Sepak bola? Serius? Ya. Malam ini salah satu malam yang saya tunggu karena ada sebuah pertandingan sepak bola. Indonesia VS Thailand. Saya bukan termasuk orang yang fanatik bola atau cukup untuk mengomentari sebuah pertandingan sepak bola. Tidak. Saya menyadari saya tidak cukup kompeten dalam hal itu. Istilah-istilah dalam pertandingan sepak bola? Secukupnya saja, saya mengerti.  Namun yang jelas, saya menikmati saat menonton pertandingan sepak bola, khususnya ketika Indonesia berlaga pada pertandingan internasional. Sebenarnya, bukan hanya bola. Karena ketika bulu tangkis Indonesia bertanding, saya selalu antusias untuk menonton. Mendengarkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebelum pertandingan sepak bola berlangsung, menyaksikan lincahnya pemain bulu tangkis ketika bertanding, saya begitu menyukainya. Tak jarang, haru dan bangga menyelimuti perasaan saya. Begitu pula yang terjadi malam ini. Ketika menyambut pertandingan Indonesia VS Thailand, dalam benak saya sudah berkata “berat”. Namun harapan tak pernah jauh dari jangkauan. Saya berharap, Indonesia menang. Dan ketika menit terus bergulir dan gol demi gol melesat ke gawang Indonesia, kenyataan tak dapat dihindarkan. Kalah? Iya. Dan sebelum pertandingan usai, saya hendak memecet remote tv. Namun pada saat itu pula, saya diam. Perenungan datang tanpa direncanakan. Bola terus bergulir dan kaki-kaki pemain “kita” terus berlari tanpa henti meski kekalahan jelas nyata bagi mereka. Terkadang putus asa tersirat di wajah mereka namun kaki yang terus berlari pun menandakan mereka tak pantang menyerah. Mereka terus berjuang, mungkin mereka “lelah” namun mereka tak berhenti berlari, tak berhenti berusaha mencetak gol sebelum peluit panjang berbunyi. Menyaksikan itu semua, mendadak dada saya sesak. Saya teringat, sebentar lagi mereka menepi karena dipaksa berhenti berlari dan bercengkrama dengan bola salah satunya karena alasan minimnya prestasi. Prestasi? Tak berprestasi? Sepak bola bukan semata-mata menang atau kalah. Prestasi dan tak memiliki prestasi. Sepak bola merupakan hiburan, penghidupan, napas bagi setiap pemainnya, dan bahkan  bentuk nasionalisme. Semoga bola masih bergulir dari kaki ke kaki pemain “kita” di ajang internasional. Amin..

Sepak bola tak berbeda dengan kehidupan. Harapan, impian, dan ketika kita berjalan menuju itu semua, terkadang kenyataan memberikan apa yang tidak kita inginkan. Namun kita tetap harus menjalaninya, sampai peluit panjang berbunyi, sampai akhir menutup mata.