Sabtu, 13 Juni 2015

Sampai peluit panjang berbunyi, sampai akhir menutup mata

Beberapa hari yang lalu seorang teman meminta saya untuk menulis lagi. Katanya, “aku kangen tulisan kamu”. Ehm,... Enek? Mungkin. Gombal? Tidak. Dia seorang perempuan yang anggun dan ekspresif. Satu lagi, terkadang sulit ditebak sehingga tak jarang orang di sekelilingnya “tersedak”. Namun tulisan ini mungkin tak sesuai seleranya. Ini bukan tentang runcingnya perasaan, melankolisnya malam, atau tentang curahan emosi untuk seorang kekasih. Bukan, ini tentang bola. Sepak bola? Serius? Ya. Malam ini salah satu malam yang saya tunggu karena ada sebuah pertandingan sepak bola. Indonesia VS Thailand. Saya bukan termasuk orang yang fanatik bola atau cukup untuk mengomentari sebuah pertandingan sepak bola. Tidak. Saya menyadari saya tidak cukup kompeten dalam hal itu. Istilah-istilah dalam pertandingan sepak bola? Secukupnya saja, saya mengerti.  Namun yang jelas, saya menikmati saat menonton pertandingan sepak bola, khususnya ketika Indonesia berlaga pada pertandingan internasional. Sebenarnya, bukan hanya bola. Karena ketika bulu tangkis Indonesia bertanding, saya selalu antusias untuk menonton. Mendengarkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebelum pertandingan sepak bola berlangsung, menyaksikan lincahnya pemain bulu tangkis ketika bertanding, saya begitu menyukainya. Tak jarang, haru dan bangga menyelimuti perasaan saya. Begitu pula yang terjadi malam ini. Ketika menyambut pertandingan Indonesia VS Thailand, dalam benak saya sudah berkata “berat”. Namun harapan tak pernah jauh dari jangkauan. Saya berharap, Indonesia menang. Dan ketika menit terus bergulir dan gol demi gol melesat ke gawang Indonesia, kenyataan tak dapat dihindarkan. Kalah? Iya. Dan sebelum pertandingan usai, saya hendak memecet remote tv. Namun pada saat itu pula, saya diam. Perenungan datang tanpa direncanakan. Bola terus bergulir dan kaki-kaki pemain “kita” terus berlari tanpa henti meski kekalahan jelas nyata bagi mereka. Terkadang putus asa tersirat di wajah mereka namun kaki yang terus berlari pun menandakan mereka tak pantang menyerah. Mereka terus berjuang, mungkin mereka “lelah” namun mereka tak berhenti berlari, tak berhenti berusaha mencetak gol sebelum peluit panjang berbunyi. Menyaksikan itu semua, mendadak dada saya sesak. Saya teringat, sebentar lagi mereka menepi karena dipaksa berhenti berlari dan bercengkrama dengan bola salah satunya karena alasan minimnya prestasi. Prestasi? Tak berprestasi? Sepak bola bukan semata-mata menang atau kalah. Prestasi dan tak memiliki prestasi. Sepak bola merupakan hiburan, penghidupan, napas bagi setiap pemainnya, dan bahkan  bentuk nasionalisme. Semoga bola masih bergulir dari kaki ke kaki pemain “kita” di ajang internasional. Amin..

Sepak bola tak berbeda dengan kehidupan. Harapan, impian, dan ketika kita berjalan menuju itu semua, terkadang kenyataan memberikan apa yang tidak kita inginkan. Namun kita tetap harus menjalaninya, sampai peluit panjang berbunyi, sampai akhir menutup mata.  

Tidak ada komentar: