Beberapa
hari yang lalu seorang teman meminta saya untuk menulis lagi. Katanya, “aku
kangen tulisan kamu”. Ehm,... Enek? Mungkin. Gombal? Tidak. Dia seorang
perempuan yang anggun dan ekspresif. Satu lagi, terkadang sulit ditebak
sehingga tak jarang orang di sekelilingnya “tersedak”. Namun tulisan ini
mungkin tak sesuai seleranya. Ini bukan tentang runcingnya perasaan,
melankolisnya malam, atau tentang curahan emosi untuk seorang kekasih. Bukan,
ini tentang bola. Sepak bola? Serius? Ya. Malam ini salah satu malam yang saya
tunggu karena ada sebuah pertandingan sepak bola. Indonesia VS Thailand. Saya
bukan termasuk orang yang fanatik bola atau cukup untuk mengomentari sebuah
pertandingan sepak bola. Tidak. Saya menyadari saya tidak cukup kompeten dalam
hal itu. Istilah-istilah dalam pertandingan sepak bola? Secukupnya saja, saya
mengerti. Namun yang jelas, saya
menikmati saat menonton pertandingan sepak bola, khususnya ketika Indonesia berlaga
pada pertandingan internasional. Sebenarnya, bukan hanya bola. Karena ketika
bulu tangkis Indonesia bertanding, saya selalu antusias untuk menonton.
Mendengarkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebelum pertandingan sepak bola
berlangsung, menyaksikan lincahnya pemain bulu tangkis ketika bertanding, saya
begitu menyukainya. Tak jarang, haru dan bangga menyelimuti perasaan saya.
Begitu pula yang terjadi malam ini. Ketika menyambut pertandingan Indonesia VS
Thailand, dalam benak saya sudah berkata “berat”. Namun harapan tak pernah jauh
dari jangkauan. Saya berharap, Indonesia menang. Dan ketika menit terus
bergulir dan gol demi gol melesat ke gawang Indonesia, kenyataan tak dapat
dihindarkan. Kalah? Iya. Dan sebelum pertandingan usai, saya hendak memecet
remote tv. Namun pada saat itu pula, saya diam. Perenungan datang tanpa
direncanakan. Bola terus bergulir dan kaki-kaki pemain “kita” terus berlari
tanpa henti meski kekalahan jelas nyata bagi mereka. Terkadang putus asa
tersirat di wajah mereka namun kaki yang terus berlari pun menandakan mereka
tak pantang menyerah. Mereka terus berjuang, mungkin mereka “lelah” namun mereka
tak berhenti berlari, tak berhenti berusaha mencetak gol sebelum peluit panjang
berbunyi. Menyaksikan itu semua, mendadak dada saya sesak. Saya teringat, sebentar
lagi mereka menepi karena dipaksa berhenti berlari dan bercengkrama dengan bola
salah satunya karena alasan minimnya prestasi. Prestasi? Tak berprestasi? Sepak
bola bukan semata-mata menang atau kalah. Prestasi dan tak memiliki prestasi.
Sepak bola merupakan hiburan, penghidupan, napas bagi setiap pemainnya, dan
bahkan bentuk nasionalisme. Semoga bola
masih bergulir dari kaki ke kaki pemain “kita” di ajang internasional. Amin..
Sepak
bola tak berbeda dengan kehidupan. Harapan, impian, dan ketika kita berjalan
menuju itu semua, terkadang kenyataan memberikan apa yang tidak kita inginkan. Namun
kita tetap harus menjalaninya, sampai peluit panjang berbunyi, sampai akhir menutup
mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar