Selasa, 23 April 2013
Rasa ini pasti bernama
Hidup. Saat jantung terus berdetak, darah mengalir, tubuh bergerak. Semuanya beraktivitas. Hidup, iya itu hidup.Saat badan menyatu dengan rohani. Manusia menjalani kehidupannya dengan segala aktivitas. Setiap detik entah berapa kali otak disinggahi bayangan, ide bahkan khayalan. Tak terasa silih berganti perasaan mengerut dan membesar. Sedih dan senang. Adakalanya tawa melebar dan tangis terurai. Disela-sela duniaku yang selalu menggeliat aku menyelipkan tanya. Apa itu hampa? Apa itu rasa? Detik ini aku pejamkan mata, terang dan hanya berwarna merah. Apa ini Tuhan? Sengaja aku pejamkan mata tak lama, karena walaupun hanya sebentar ada sesuatu yang menyesaki dada hendak mengalirkan air ata. Rasa ini pasti bernama. Namun apakah ini? hampa? mungkin. Saat siang, disekelilingku ada orang yang sedang beraktivitas. Berdagang, mengobrol dan tertawa. Namun aku memiliki kesibukkan sendiri. Merangkai kata mencoba mengerti rasa yang melanda hatiku. Disekelilingku terdengar tawa kemudian aku menertawakan diriku sendiri. Kenapa sulit sekali aku tertawa? ada apa ini Tuhan? kosong. Aku tak mengenali diriku sendiri. Yang jelas saat ini aku hanya ingin menyendiri dan mencoba memahami seraya mengikuti dengan keiklasan bahwa hidup tak sendiri. Aku tak boleh senang sendiri. Ok, Tuhan. Jika ini yang dinamakan hampa, isilah hati hamba dengan rasa yang bernama nikmat yang selalu diiringi dengan tawa, syukur dan senang. Namun bagaimana bila hamba nyaman sendiri? nyaman berair mata? Mungkinkan sendiri dan tangis termasuk nikmat yang Engkau berikan untukku? Yang akhir-akhir ini sering menjumpaiku. Oh hingga dipenghujung tulisanku ini,lahir sebuah tanya. Apakah rasa yang belum aku namani ini baik atau buruk untukku? Aku harus sering berjumpa dengan rasa ini atau segera meninggalkannya? Semoga, esok yang menjadi misteri memberikan sebuah jawaban tentang semua tanya. Tak apa bila bukan besok sekali, toh besok bukan kata yang haya bisa untuk sekali pakai saja. Besok, mungkin kamis bila kata itu diucapkan pada hari rabu. Besok bisa jadi senin, selasa rabu atau saat embusan napas terakhir.
Selasa, 22 Januari 2013
dengan mata, hanya bisa mengelus dada
Manusia senantiasa berubah. Entah dalam aspek apa pun itu, besar atau kecil. Begitu juga yang saya alami. Pemikiran saya tidak lagi sesederhana dahulu. Sekarang, ada satu keyakinan yang saya pegang bahwa tidak ada yang kebetulan. Saya yakin semua yang saya jalani merupakan sebuah rencana dari Tuhan. Oke. Langsung saja saya akan menceritakan pengalaman yang menjewer hati saya, hampir saja saya memuntahkan tangis.
Tadi siang, saya pulang dari kampus dan seperti biasa rasa kantuk menyergap saya. Membuat saya harus beberapa kali menahan kepala yang sesekali ke bawah.Di tengah perjalanan, laju angkot memalan, nampaknya macet karena ada sebuah acara. saya menengok ke samping kanan dan melihat bapak-bapak yang sedang berjalan. Di pundaknya ada seorang anak laki-laki mengenakan baju hitam dan celana panjang. Saya tidak dapat melihat muka anak tersebut, karena posisi kepalanya berada di bawah menggantung dan saya hanya dapat melihat kepala bagian belakangnya saja. Sementara kakinya berada di atas pundak bapak itu. Lelah, lesu tergampar jelas dari bapak tersebut, dari mulutnya menetes air liur. Sementara di belakang bapak tersebut, berjalan beberapa wanita dan anak-anak. mereka terlihat sangat kumel, di punggung wanita-wanita itu terdapat buntelan-buntelan. Entah apa, saya tidak tahu. Tiba-tiba, dengan cepat bapak itu menjatuhkan anak tersebut ke tanah dan anak tersebut posisinya telungkup. Semua yang ada di angkot berteriak, kecuali saya. Menyaksikan itu, mulut saya pun enggan mengeluaran suara. saya hanya bisa mlongo. Batin saya bergetar, saya berusaha melawan agar jangan sampai tangis keluar. Dan telinga saya tak lagi mampu menangkap dengan jelas riuh pembicaraan di angkot. Mata saya terus saja berburu pada mereka, melihat anak itu telungkup, gerombolan berhenti dan anak kecil yang wanita berdiri dengan tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Bapak itu melangkah, melintasi jalan dan mendekati angkot yang saya tumpangi.
"aah tohong"
kurang lebih itu yang saya dengar dari bapak tersebut. Suaranya tak jelas, namun supir angkot hanya berbicara.
"tuh ka nu itu, tadi ngagupayan" sambil menunjuk mobil yang berada di depan. Namun mobil tersebut pun berjalan.
Ada Ibu-ibu di angkot yang berbicara.
"itu keluarganya bukan? ah masa banyak-banyak teuing"
"iya, satu keluarga, orang Ci*******a".
Sampai sekarang batin saya terusik dan ingin menumpahkan tangis bila otak saya kembali memutar peristiwa tadi siang. Seperti malam-malam biasanya, saya merenung dan pertanyaan yang menggantung di benak saya. salah satunya,
Apa motif Tuhan menunjukkan peristiwa seperti itu kepada saya? Iya saya yang pada kesempatan itu belum berkesempatan untuk melakukan apa-apa. Hanya bisa menonton dan mengelus dada. Bahkan perasaan menyesal sekali pun tak membuahkan apa-apa. Diam. Di penghujung malam ini, saya belajar memahami dan menyikapi peristiwa itu, karena saya yakin tak ada hal yang kebetulan.
Langganan:
Komentar (Atom)