Minggu, 11 November 2012

Ketulusan sosok Kepahlawanan Guru



Guru. Di zaman modern seperti ini, profesi guru tidak begitu diminati khususnya bagi kalangan menengah ke atas. Alasannya karena kurang terjaminnya kesejahteraan hidup. Padahal untuk mencerdaskan bangsa, dan mensejahterakan manusia, itu semua bermula dari seorang guru. Guru sejatinya bukan hanya melihat gaji namun didasari oleh sebuah panggilan jiwa. Pengabdian. Mengajar, mendidik, membimbing, dan membina peserta didik bukanlah hal yang mudah. Anak bukan orang dewasa dalam ukuran kecil. Salah dalam mendidik, rugi anak seumur hidup. Perkembangan dunia pendidikan pesat. Kurikulum berubah - rubah di sesuaikan dengan tujuan pendidikan yang mengacu kepada tuntutan zaman. Disini guru dituntut untuk mengikuti aturan. Ada yang menerima, mengikuti dan mengerti atau ada yang kebingungan dan tetap kembali kepada metode dan cara mengajar yang dahulu. Berbeda - beda memang. Tapi yang jelas, kebahagiaan seorang guru adalah melihat anak didiknya sukses. Pendidikan adalah hal yang penting. Pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui Undang - Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005. Salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan adanya sertifikasi guru. Setidaknya ini lebih baik bagi sebagian guru yang beruntung. Tapi tidak dengan Ibu Iyos. Guru Madrasah Ibtidaiyah di kampung saya. 
Disaat rekan - rekan guru di sekolah yang lain menikmati buah perhatian pemerintah, ia tidak merasakannya. Setiap pagi, ia mengayuh sepeda sejauh 7 KM, kalaupun tidak, menumpang dengan guru yang lain. Sekolah tempat beliau mengajar pernah berpindah. karena bangunan tidak layak dan roboh. Akhirnya sekolahpun dipindahkan. Di sebelah kantor kepala Desa. Yang bila di tempuh harus melewati tanjakan yang bisa dibayangkan, betapa capenya mengayuh sepeda yang sudah berkarat. Namun saat sampai di kelas, kelelahannya sirna sudah. Digantikan dengan senyuman melihat wajah anak didiknya satu persatu. Bisa dihitung dengan jari memang. anak didiknya banyak yang tidak mengenakan sepatu. Hanya sandal saja. Wajah kucel, gigi kuning, dan kulit busik. Namun beliau dengan tulus mendidik mereka. Padahal di samping profesinya sebagai pendidik, beliau juga mempunyai kehidupan pribadi. Sebagai makhluk sosial, secara kodrati ingin hidup berkecukupan. Tapi di zaman serba mahal ini, gaji seorang guru honorer tidaklah menjamin. Beliau bukan tidak berkompetensi dan berusaha. Tapi beliau jujur. Disaat banyak calon guru yang untuk meraih jabatan PNS dengan mengandalkan uang. Ia lebih baik tidak. Sehingga di geser oleh oknum yang tidak memiliki sifat seorang pendidik. Berakhlak mulia. Ia rela, walaupun terkadang putus asa menghampiri.

Saat Ibu saya bercerita sepulang mengaji,  entah untuk yang keberapa kali Ibu Iyos meminta do'a kepada jemaah. Agar ia bisa lolos tes CPNS. Ada yang berceloteh "bosan mendengarnya". Itu yang saya dengar dari Ibu. Walaupun akhirnya dinyatakan tidak lolos, tapi tidak seharipun beliau bolos mengajar kalau tidak sakit.
Walaupun didasarkan pada panggilan jiwa, tapi himpitan ekonomi membuatnya terlihat disepelekan. Tidak bergengsi. Untuk menunaikan kewajibannya, kendaraan, penampilan dan tubuhnya tidak mencerminkan beliau hidup layak. Tubuh kecil kurus, berkerudung menyon dan sebelum bertemu dengan anak didiknya, sudah berkeringat. Namun sungguh bagi saya beliau adalah sosok pahlawan. Walaupun entah sampai kapan bertahan. Karena, menurut saya bahkan seorang pahlawanpun perlu pengakuan.
Ini tidak dimiliki beliau. Pengakuan. Hanya segelintir orang yang melihat berdasarkan kacamata ketulusan bahwa beliau memang pahlawan. Oknum pejabat, manusia yang haus jabatan tidak memperhatikannya. Mereka buta. Berfikir terlalu idealis. Kompetensi, Pengetahuan, dan profil guru. Setidaknya penampilannya harus rapi, calananya bergaris, wangi, enak dipandang karena sebagai model bagi anak didiknya, Menggunakan sepatu pentofel di semir hitam. Tapi tidak dengan Ibu Iyos. Beliau bahkan terkadang lupa kalau kakinya sakit akibat sepatu yang tidak layak pakai.
Saat guru yang lain ke sekolah sudah menggunakan motor matic. Beliau masih seperti yang dulu. Sepeda. Sertifikasi. Kata itu mungkin sering didengar, tapi itu hanya angan - angan baginya. Gaji ketiga belas, itu juga terdengar indah namun menyesakan hati. Gaji pokokpun tidak, aah saya bukan wartawan yang pernah menanyakan hal itu. Tapi sudah dapat saya bayangkan, walaupun ia tersenyum tapi ia bukan malaikat. Lelah pastiliah ia rasakan.

Kalaupun profesi mengacu kepada dua hal, pengabdian dan pendapatan.Setidaknya beliau seorang pengabdi yang patut dicontoh. Walaupun beliau berkutat dengan papan tulis dan kapur disaat yang lain sudah menggunakan media pembelajaran, infocus, internet dan laptop. Bahkan ia belum pernah meyentuhnya. Tapi seberapa jauhnyapun ia tertinggal dengan berbagai metode, strategi dam media pembelajaran. Tapi dalam hal pengabdian, beliaulah juaranya. Bukan berlandaskan aturan atau tunjangan tetapi keikhlasan. Tidak ada manusia yang dapat di katakan sebagai pahlawan, kecuali mereka yang berjuang dilandasi dengan ketulusan. Sama halnya dengan Ibu Iyos. Guruku Pahlawanku.

2 komentar:

Sahabat Seo mengatakan...

artikel yang penuh dengan inspirasi, sukses terus

Katrin Yustina mengatakan...

Terimakasih. Semoga sukses juga