Sabtu, 29 November 2014

Hedgehog

Malam semuanya. Di tengah-tengah suara ibu-ibu yang sedang rapat di depan kamarku, aku mulai mendengaran lagu. Tentu, lagu yang kudapatkan lewat saudaraku. Siska Eka Chyntia dan Sydney Edelin Putri. Namun kali ini aku bukan mau menulis tentang saudaraku yang berisik atau saudaraku yang selalu mengaku sebagai teman yang paling cantik. Oke, aku tahu kalian tahu maksudku. Tak perlu basi-basi lagi. Aku akan menulis tentang seseorang yang tak mau mengakui aku sebagai temannya. Sial bukan? Iya, dia memang lelaki sialan. Lelaki? Hemmm, tak ada yang salah dengan jemariku. Iya, dia seorang lelaki yang seusiaku. Sekitar enam tahun aku mengenalnya. Terkadang kami menjalani waktu ditempat yang sama. Aku dan dia sering bersama untuk beberapa hal. Yang pasti, untuk orang yang  sama-sama kami sayangi. Dan kemarin, sekitar 58 menit dengan tempat yang berbeda kami saling bicara. Namun kendati sudah lama tak saling bertemu, bukan sapa atau rindu yang keluar dari mulut kami. Tak ada pujian dan kehangatan yang terlontar dari bibirnya yang tak seindah sewaktu kami duduk di bangku SMA. Kami saling beradu argumen dan tak jarang kata yang keluar begitu runcing. Sakit, perih, dan ada sisi dimana aku merasakan dia begitu serius dengan kata-kataku. Itu artinya, dia dapat benar-benar terluka.
Zei, aku menyebutnya demikian. Zei, kamu bilang, aku begitu tak menyukaimu sebagai teman. Padahal, demi apapun tak ada sedikitpun perasaan demikian. Aku memang selalu "beradu" mulut denganmu, namun itulah caraku untuk mengenalmu. Untuk mengakrabimu. Dan yang aku dapatkan dari kita saling "beradu", kita saling "melukai" adalah aku menangkap seekor Hedgehog. Kalian tahu hedgehog? Sejenis landak. Berduri, runcing, kuat, jangan bersembunyi di balik duri-duri yang kau miliki. Jangan lagi kau berusaha menggunakan durimu hanya untuk sekedar melukai tanganku. Justru gunakan durimu untuk menghangatkanmu saat musim penghujan datang. Seperti saat ini. Hangat, kamu harus menghangatkan tubuhmu sendiri. Jangan terlalu berusaha memahami tentang musim yang cepat berganti. Tentang roda yang berputar diluar kendali tangan kita. Tentang sakit yang terus saja datang tanpa kamu izinkan. Rasakan dan jalani. Namun dalam rasa yang selalu tak memberikan bahagia itu kamu hanya perlu tersenyum sambil terus berlalu. Dan dalam pelarianmu, kamu harus selalu membusungkan dadamu. Karena bagaimanapun runcingnya kata-kata yang menggores hatimu, aku yakin kamu bukan hanya dapat bertahan namun kamu dapat bangkit. Dan saat kamu kembali dari pelarianmu, kamu tak lagi pusing oleh roda yang mempermainkanmu. Justru kamu dapat menunggangi roda itu. Kamu dapat mempermainkannya sesuka hatimu. Saat itu adalah saat dimana kita benar-benar bertanggung jawab atas usaha kita. Sekarang? Oh tidak. Tiga tahun usahamu bermodal sepeda motor dengan uang ratusan juta yang mereka gelontorkan, tak sepadan untuk dibandingkan. Ingat, usaha dapat menghasilkan rupiah. Begitupun rupiah dapat membuat manusia memiliki usaha atau profesi. Keduanya memiliki kesamaan. Rupiah dan pekerjaan. Namun proses yang lebih aku sukai adalah saat kita berusaha dan mendapatkan penghasilan. Bersyukurlah atas penghasilan yang kita dapatkan. Atas cipratan tanah di jalan beraspal dari ban motor yang kau kendarai. Atas kesempatanmu melihat wajah-wajah baru yang ceria karena akan menginjakkan kakinya di pasir pantai. Dan syukuri atas penglihatan yang kau miliki. Dengan penglihatanmu, jelas sekali kamu menemukan landak-landak di sekelilingmu. Mereka saling mendekatkan dalam menjalani musim dingin. Duri-duri mereka saling menyakiti namun kesakitan itulah yang membuat landak bertahan karena saling menghangatkan sampai musim semi datang.

Tidak ada komentar: