Rabu, 19 November 2014

Mereka dan Air Mata





Saat ini hujan dan aku ingin berkenalan. Sebut saja namaku Melan. Aku tak pernah menampilkan sesuatu yang bukan aku dalam waktu yang lama. Jika aku marah aku dapat berbicara dengan kasar dan aku tak pernah malu untuk tertawa terbahak-bahak di depan umum, terlebih dengan dua orang yang selama ini berarti dalam hidupku. Begitupun saat aku sedih, aku akan menangis. Tak banyak yang tahu memang namun percayalah aku dapat menangis berjam-jam, menghabiskan tisyu punya teman dan setelah tangis aku akan menertawakan diriku sendiri. Oh ya, kelebihanku adalah dapat menertawakan suatu kesialan yang menimpaku. Namun saat ini, kendati di meja belajarku ada tisyu namun tak ada siapapun bersamaku. Lagi, hanya suara hujan yang mengiringi aku untuk menelusuri setiap lorong di hatiku.
Lorong hati, perasaan. Banyak faktor yang membuat perasaan menjadi tak enak. Namun bukankah perasaan tak enak akan terasa begitu menyebalkan saat kita tak tahu alasannya? Pernahkah kalian merasakan hal itu? Untuk para perempuan mungkin. Namun aku yang terus dirundung perasaan itu tanpa bisa menumpahkan tangis di saat perasaan nyesek begitu kentara, perlahan-lahan mulai menemukan akhir. Dan aku tahu alasannya.


Tanpa direncana, aku menelepon mamahku dan yang mengangkatnya adalah papaku. Seorang ayah yang sejak kecil membuat aku begitu percaya diri, tak mengenal takut, dan membuat aku selalu dapat mengandalkannya. Namun sekarang orang itu sedang sakit. Kudengar suaranya tak setegas biasanya dan mendadak aku merindu. Dalam suaranya tergambar ia begitu bekerja dengan keras. Ia mengorbankan dirinya untuk seorang putri yang sekarang tak mungil lagi. Yang sekarang rambutnya tak keriting lagi, dan yang sekarang lebih banyak menggunakan uang dibandingkan sewaktu dulu.  Putrinya yang berjarak dengan dia. Namun dalam jarak itu, keduanya terus saling mengingat. Keduanya saling mendekap.

Bagiku sebuah dekapan hangat bukan hanya bersama papa namun juga kamu. Orang yang berbagi tisyu, berbagi ruangan, dan berbagi waktu dalam ketulusan. Seorang saudara yang sangat berarti untukku. Seorang saudara yang tak pernah mengeluh saat aku menggunakan waktunya. Saat aku dengan egois melakukan apa yang aku suka. Berbicara. Salah satu korban dari kegemaranku berbicara adalah kamu. Aku dapat berbicara tanpa henti dalam waktu yang sangat lama dengan topik yang berbeda-beda. Namun sebenarnya ada satu hal yang mengganjal dalam hatiku, yang terkadang muncul di saat aku tak bersamamu. Namun baru sekarang aku utarakan. Baru sekarang aku mengakui keegoisanku. Kamu, bukankah aku jahat selalu berbicara tentang orang yang aku andalkan? Orang yang sama-sama kita cintai namun bagimu, cerita tentang dia terbatas. Jarak yang diukur dengan mata tak mungkin dapat ditaklukkan. Betapa jahatnya aku karena mungkin saja melalui ceritaku, kamu meraba perasaan seandainya kamu bersamanya. Seandainya kamupun dapat lebih banyak bercerita tentang dia. Dan mengalami apa yang aku ceritakan. Cantik, jarak yang tak bisa diukur itu nyatanya begitu dekat, karena kamu mendekapnya erat dalam do’a yang kamu panjatkan. Dalam wajahmu dan pribadimu yang mengagumkan aku tahu, ada dia. Kendati kamu tak bisa berbagai cerita tentang teman-temanmu padanya, tentang lelaki yang dekat denganmu, atau runcingnya lidah temanmu yang membuat kamu tak ingin lagi berjalan bersama dia. Yakinlah suara dan nasihat dia ada di sekeliling kamu. Suaranya adalah suara kebaikan melalui mereka, siapapun itu. Dan kasih yang dia berikan, dia titipkan pada orang-orang di sekelilingmu. Sederhana namun bermakna. Hangat. Iya, kamu dapat merasakan kehangatannya bukan? Kaos kaki dan selimut saat hujan. Saat inipun, dia sedang mendekapmu
 
Selain itu, orang yang membuat aku menangis adalah kamu. Hai kamu yang saat ini sedang bersedih. Kamu yang saat ini pikirannya sedang kalut dan kamu yang sekarang dalam waktumu melupakan aku karena masalahmu. Yang sabar sayang dan selalu tabah. Senyummu jangan hanya menjadi milik orang lain. I love you.
Dalam hidupku, selain orang tua dan keluargaku, adalah kamu yang selalu berusaha membahagiakan aku. Kamu yang menyampaikan rinduku untuk mamahku. Iya, saat ini aku yakin hanya Tuhan dan kita saja yang tahu tentang itu. Sayang, tahukan hamu bahwa pribadimu yang menjadi candu bagiku sehingga aku terus merindu? Karena itulah, sampai kita bertemu, sampai wajahmu tak hanya ada dalam gambar dan kenangan, jaga diri baik-baik.
Sampai tulisan ini berakhir, saat ini hujannya reda. Reda sebagai jeda atau memang akhir dari air yang menetes ke bumi untuk hari ini, aku tak tahu pasti. Namun yang aku ingin pastikan adalah kalian selalu dalah keadaan baik. Rohani maupun jasmani. Mudah-mudahan. Untuk papah, kamu, dan  juga kamu. Sampai kapanpun, biarpun tempat kita berjarak namun ingatan dan perasaan jangan sampai demikian.

Tidak ada komentar: